Selama bertahun-tahun menjadi pelaksana riset pasar, saya sering mendapat tugas melakukan riset menggunakan teknik Focus Group Discussion (FGD) atau Central Location Test (CLT). Bahkan belum lama ini saya baru closing project FGD untuk peluncuran produk sepeda motor, dan tes rasa kopi menggunakan teknik sampling CLT. Kedua teknik ini biasanya memang dipilih untuk mendapatkan data kualitatif dalam waktu yang relatif singkat.
Seorang kawan saya pernah mengingatkan untuk berhati-hati dalam mencermati hasil riset berkaitan dengan kedua teknik tadi dengan meminjamkan sebuah buku berjudul “Blink” karangan Malcolm Galdwell. Buku ini mulai saya baca, namun tak pernah selesai, tertunda terus oleh hal-hal lain. Dari buku “Blink” ini, saya ingin berbagi pengetahuan, mengapa kita harus berhati-hati dalam mencermati hasil riset ini.
1. Mencermati Kesan Pertama
Dari hasil survey pasar dengan mewawancarai sejumlah konsumen, apakah mereka menyukai sebuah lagu yang baru diputar, film yang baru ditonton, atau seorang politisi yang baru berpidato, seberapa besar kepercayaan kita atas jawaban mereka? Misalnya, mencari tahu pendapat orang tentang lagu rock kelihatannya mudah, padahal orang yang menjalankan focus group dan jajak pendapat tak selalu peka terhadap kenyataan ini. Untuk menjawab seberapa bagus sebuah lagu, perlu menggali lebih dalam, dan betapa rumitnya rincian yang diperoleh dalam kesimpulan sekejap.
Pengalaman saya sendiri, jika kita membuat kuesioner dan meminta orang untuk menilai sesuatu dalam skala 1 sampai 7, kita akan melihat sebagian besar jawaban mereka akan berada pada skala tengah, jarang sekali yang cenderung menjawab nilai di antara nilai 1-2 atau nilai 6-7.
2. Mencermati Hasil Tes Rasa (Pepsi Challenge)
Kasus Pepsi Vs Coca cola merupakan hal yang menarik. Pada awal 80 an, Pepsi pelan-pelan mulai menggerogoti kepemimpinan Coke. Selanjutnya diadakan acara (tes rasa) untuk mempertandingkan Coke secara langsung dengan Pepsi, dan acara tersebut dikenal dengan Pepsi Challenge. Sejumlah peminum fanatik Coke diminta mencicipi minuman dari dua gelas, satu bertanda Q dan lainnya M. Ternyata 57 persen dari juru cicip tersebut memilih Pepsi. Ahli riset Coke, mulai memikirkan adanya permasalahan pada rasa, karena rasa Pepsi lebih manis. Para ilmuwan Coke ber eksperimen, membuat rasa Coke menjadi lebih ringan dan lebih manis, seperti rasa Pepsi, dan lahirlah ”New Coke”. Para responden, dengan cara sederhana dan langsung, diminta menceritakan reaksi mereka, dan rata-rata mengatakan tidak menyukai Coke lama, tetapi lebih suka pada rasa Coke baru.
Ternyata malah terjadi kegagalan setelah dijual ke pasar, bahkan menjadi sebuah bencana. Para penggemar Coca-cola serentak bangkit menyatakan kemarahan mereka terhadap New Coke, dan Coke terhunjam pada situasi krisis. Hanya beberapa bulan kemudian, perusahaan dipaksa kembali ke resep asli mereka, dengan sebutan Classic Coke. Kenyataannya, kenaikan pangsa Pepsi yang diramalkan oleh riset pasar bakal tak terhentikan juga tidak pernah terwujud. Selama duapuluh tahun terakhir, Coke telah bersaing langsung dengan Pepsi. Coca Cola tetap dengan produk yang menurut uji rasa kalah dari Pepsi, namun Coke masih menjadi minuman ringan nomor satu di dunia. Dengan demikian, cerita tentang Coke menunjukkan contoh yang bagus sekali, betapa sulit mencari tahu bagaimana sesungguhnya jalan pikiran orang banyak.
3. Orang buta menuntun orang buta
Carol Dollard, yang bekerja untuk Pepsi selama bertahun-tahun dalam pengembangan produk baru, mengatakan bahwa salah satu yang bisa menyesatkan dari sebuah uji rasa, terkait dengan rasa manis.
”Jika yang anda lakukan hanya uji rasa, konsumen akan lebih menyukai produk yang lebih manis. Akan tetapi jika mereka harus minum sebotol atau sekaleng penuh, rasa manis itu bisa menimbulkan rasa mual.”Pepsi lebih manis dibanding Coke, maka peluangnya dalam uji rasa besar. Pepsi juga dicirikan dengan rasa jeruk yang ”meledak”, tidak seperti Coke yang rasanya lebih mirip vanila kismis. Akan tetapi rasa meledak cenderung turun ketika anda meminumnya sekaleng penuh, dan itu pula alasannya mengapa Coke kalah dalam pembandingan. Hal tsb juga menyingkapkan bahwa kita mempunyai dua reaksi berbeda terhadap minuman Cola. Kita mempunyai reaksi tertentu ketika meminumnya barang satu dua teguk, dan mempunyai reaksi lain sesudah meminum sebotol atau sekaleng penuh.
Selanjutnya ada masalah transferensi sensasi. Louis Cheskin, ahli pemasaran abad kedua puluh, menjelaskan bahwa ketika orang membuat penilaian mengenai sesuatu yang akan mereka beli di supermarket atau departmen store, tanpa menyadarinya, mereka memindahkan sensasi atau kesan yang mereka dapatkan dari kemasan produksi ke produknya sendiri. Cheskin percaya, kebanyakan kita tidak membedakan, ditingkat bawah sadar, antara kemasan dan produk didalamnya. Contohnya margarin, sekitar tahun 40 an margarin belum populer. Konsumen tak tertarik untuk membelinya, hal ini yang membuat Cheskin penasaran. Mengapa orang tidak menyukai margarin? Apakah terkait langsung dengan makanannya sendiri, atau masalah asosiasi orang dengan margarin? Pada saat itu margarin berwarna putih, Cheskin memberinya warna kuning sehingga tampak seperti mentega. Kemudian Cheskin membuat perjamuan, menyediakan mangkuk margarin dan mentega, yang karena warnanya sama-sama kuning, orang sulit membedakannya. Seusai acara, tiap orang diminta membuat penilaian untuk pembicara dan makanan yang dihidangkan, dan hampir semua orang mengatakan bahwa “mentega” itu lezat. Padahal riset pasar mengatakan bahwa margarin tak mempunyai masa depan. Masalahnya kemudian adalah meningkatkan penjualan. Cheskin meminta kliennya menyebut namanya dengan ”Imperial margarine”, sehingga mereka bisa menaruh mahkota yang mengesankan pada kemasannya. Kemudian Cheskin meminta untuk dibungkus dengan aluminium, sebab pada masa itu, kemasan kertas aluminium diasosiasikan dengan mutu yang tinggi. Dan tentu saja, jika orang menyajikan dua kerat roti yang sama, yang satu diolesi margarin putih dan lainnya diolesi imperial margarine kuning, dikemas kertas aluminium, maka keratan roti kedua akan selalu memenangkan uji coba.
Masten dan Rhea, konsultan pemasaran tidak percaya bahwa kemasan yang cerdas bisa membebaskan perusahaan dari produk yang tidak enak. Tujuan manipulasi kemasan hanyalah agar ketika kita menaruh penganan itu kedalam mulut, maka sekejapan mata kita akan memutuskan apakah rasanya enak atau tidak. Dari beberapa contoh ini, terlihat bahwa kita bereaksi tidak hanya terhadap bukti dari alat pengecap dan kelenjar ludah, tetapi juga bukti nyata dari mata, ingatan, dan daya cipta kita, maka perusahaan tidak boleh hanya memuaskan salah satu dimensi namun mengabaikan dimensi yang lain.
Kesalahan yang pernah diperbuat Coca-cola, yaitu saat mengaitkan direbutnya pangsa pasar mereka oleh Pepsi, adalah sepenuhnya pada kegagalan produk. Padahal yang berperan banyak sekali dalam dunia Cola adalah ”citra merk”, dan dahulu mereka mengabaikan faktor ini. Semua keputusan mereka terfokus pada pengolahan produk semata, sementara Pepsi peduli sekali pada kalangan muda, dan menjadikan Michael Jackson sebagai juru bicara, selain banyak hal lain yang sangat menaikkan citra mereka. Jelas, orang menyukai produk yang lebih manis pada uji rasa, namun orang tidak mengandalkan keputusan mereka untuk membeli hanya pada uji rasa.
Cerita di atas mengingatkan saya saat anak-anak masih kecil dan sulit makan. Dokter anak menyarankan, supaya anak-anak tertarik minum susu, maka susu bisa diberi tambahan warna, jadi bisa warna kemerahan, kekuningan, dan ternyata anak-anak menjadi suka. Anak bungsuku saat kecil tak menyukai makanan yang bentuknya tidak indah, sampai suami saya bilang…”Anakmu itu, kalau semua makanan berwarna merah muda, hijau, biru, maka dia akan mau makan lebih banyak” Sekarang saya memahami, betapa sebetulnya mata dan daya khayal atau sensasi kita mempengaruhi untuk memilih jenis makanan yang kita beli.
Sumber bacaan:
Malcom Gladwell. ” Blink: The Power of Thinking Without Thinking” Terjemahan dalam bahasa Indonesia. PT Ikrar Mandiriabadi. Jakarta, 2006. hal.176-225
Blogger Comment
Facebook Comment